Kamis, 12 Januari 2012

Nabi Adam AS: Manusia Pertama, Nenek Moyang Manusia Sejagat (1)

Ia kakek moyang manusia sejagat, gara-gara mengikuti tipu daya Iblis, ia diusir dari Surga, bersama Hawa Istrinya, ia diturunkan ke Bumi


Sebelum menciptakan Adam, Allah menciptakan langit, bumi dan seisinya seperti gunung, laut, tumbuhan, hewan, binatang, matahari sebagai sumber panas, bulan sebagai penerang malam, serta bintang-bintang sebagai penghias alam.


Langit dan bumi diciptakan oleh Allah dalam waktu enam masa. Sedangkan satu masa di sisi Allah sama dengan satu millenium atau seribu tahun menurut perhitungan manusia.


Ketika Allah berkehendak, tanah kering dan lumpur busuk yang sudah dibentuk dengan sebaik-baiknya dan ditiup dengan Roh itu, terciptalah menjadi sesosok makhluk manusia yang memang ditakdirkan sebagai khalifah di muka bumi. Dialah Nabi Adam AS, manusia pertama berkelamin laki-laki. Firman Allah, “Aku akan menciptakan manusia untuk menjadi khalifah di bumi.”


Sebelumnya Allah telah menciptakan dua makhluk lain, yaitu Malaikat yang dibuat dari Nur atau Cahaya. Malaikat diciptakan sebagai makhluk yang tunduk patuh senantiasa berbakti kepada Allah, sama sekali tidak pernah durhaka kepada-Nya.


Malaikat tidak mempunyai nafsu, tidak makan dan minum, tidak tidur, tidak pernah melakukan perbuatan dosa, tidak berjenis kelamin laki-laki atau perempuan, dan mempunyai alam tersendiri, yaitu alam gaib yang tidak dapat dilihat oleh manusia.


Sedangkan jin dan iblis diciptakan dari Api yang sangat panas. Ia mempunyai jenis kelamin, laki-laki dan perempuan. Jin ada yang patuh ada yang ingkar kepada perintah Allah. Jin yang ingkar dan membangkang kepada perintah Allah itu disebut Iblis dan setan.


Iblis dan keturunannya adalah makhluk yang sangat durhaka dan jahat. Tidak ada kebaikannya sama sekali. Pekerjaan Iblis dan Setan adalah menggoda manusia agar tersesat dan jatuh dalam lembah dosa.


Kepada kedua makhluk terdahulu itu, Allah memerintahkan agar mereka tunduk kepada Adam dengan bersujud kepadanya. Malaikat mematuhi perintah itu, tetapi Iblis menolak.


“Aku tidak akan sujud kepada manusia yang Engkau buat dari tanah kering dan lumpur itu,” kata Iblis kepada Allah.


“Kau terkutuk, dan keluarlah dari surga-Ku,” perintah Allah. Lebih jauh Allah menegaskan, kutukan itu akan berlangsung sampai pada hari kiamat. Sampai disini Iblis mengajukan permohanan kompensasi. “Wahai Allah, karena Engkau telah memutuskan aku sesat, akan kujadikan kejahatan di muka bumi tampaknya indah bagi manusia, dan akan kusesatkan mereka semua, kecuali hamba-Mu yang sungguh-sungguh taat.”


Sebagai makhluk manusia pertama, Adam telah menikmati semua fasilitas yang disediakan oleh Allah, kecuali pohon khuldi. Ia harus menjauhinya. Tetapi ternyata ia merasa kesepian, karena hidup sendiri tanpa kawan bermain, mitra bercanda, dan teman bergaul. Maka Allah pun menciptakan makhluk lain yang terbuat dari tulang rusuk Adam sendiri, yang kemudian diberi nama Hawa yang berkelamin perempuan.


Rasa sepi dan sedih mebuatnya letih, sehingga ia tertidur pulas di bawah pohon yag teduh. Allah Maha Tahu, Ia mengetahui apa yang tergerak dalam hati Adam, yaitu ingin mempunyai teman. Maka sewaktu Adam tidur, Allah menciptakan manusia lagi yang diambil dari tulang rusuk Adam sendiri. Manusia itu lain jenisnya dengan Adam, ia adalah seorang wanita, yang diberi nama Hawa.


Ketika Adam bangun dari tidurnya, ia sangat terkejut. Ia melihat seorang duduk disampingnya. Wanita itu indah, cantik dan mengagumkan.


“Siapakah engkau? Mengapa berada di sini?” tanya Adam. Dengan tersenyum manis Hawa menjawab, “Aku adalah Hawa yang diciptakan untuk menjadi teman hidupmu.”


Betapa gembiranya hati Adam mendengar jawaban itu. Ia memuji dan bersyukur kepada Allah yang telah mengabulkan keinginannya sehingga ia tidak merasa kesepian lagi. Begitu Adam bertemu dengan Hawa, maka tumbuh di hatinya rasa ingin memuaskan nafsu biologis. Ketika itulah malaikat berkata:


“Jangan dulu, hai Adam, sampai engkau mambayar mahar (mas kawin) kepada Hawa.” Adam pun bertanya, “Apakah maharnya?” Malaikat menjawab, “Maharnya adalah engkau harus membaca shalawat untuk Nabi Muhammad SAW.”


Setelah Adam memenuhi mahar yang dimaksud, dan Malaikat Jibril membacakan khutbah nikah. Lalu Allah menikahkan Adam dan Hawa, disaksikan oleh Malaikat Israfil, Malaikat Mikail, dan beberapa Malaikat Muqarrabin.


Lengkaplah sepasang manusia penghuni surga. Keduanya lantas dikawinkan oleh Allah. “Hai Adam, tinggallah engkau dan istrimu di dalam surga, dan nikmati segala yang ada, kecuali pohon ini. (Jika melanggar larangan itu) Nanti kamu akan jadi orang durjana,” firman Allah. Maka Adam dan Hawa pun hidup, berpasangan, bercengkrama dan berbahagia di surga yang sangat indah.

Ketika Adam dan Hawa Terpedaya Iblis (2)

Mendengar bahwa Adam dan Hawa tidak diperkenankan dan dilarang memakan buah Khuldi, Iblis merasa mendapat kesempatan untuk menggoda dan melaksanakan niat jahatnya, yaitu menyesatkan Adam, di mana pada akhirnya tipu dayanya berhasil.


Dengan berpura-pura sakit dan bersedih hati, Iblis mendatangi pasangan Adam dan Hawa. Si Iblis itu mengatakan:


“Saya bersedih hati karena memikirkan kalian berdua, saya tahu dan mendengar bahwa kalian berdua tidak akan lama lagi tinggal bersenang-senang di Surga, apalagi setelah Allah melarang kalian memakan buah pohon ini. Itu merupakan tanda bahwa apa yang saya khawatirkan akan benar-benar terjadi. Oleh karena itu, cepatlah makan buah pohon Khuldi ini supaya kalian berdua tetap bisa hidup dan tidak diusir dari surga ini.”


Tentu saja Adam yang sudah diwanti-wanti oleh Allah, menolak ajakan dan rayuan Iblis itu. Namun dengan berbagai cara, Iblis akhirnya berhasil menipu dan menaklukkan hati Adam, hingga ia tidak hanya bersedia mendapatkan buah khuldi, melainkan juga ikut memakannya. Bahkan Hawa pun kemudian juga ikut-ikutan menikmatinya. Larangan Allah pun mereka langgar. Menyadari perbuatan itu, Adam dan Hawa menyesal bukan main dan mohon ampun kepada Allah.


Allah pun berfirman:


“Bukankah telah aku larang kamu mendekati pohon itu? Bukankah sudah aku peringatkan bahwa Iblis adalah musuh yang nyata bagimu? Turunlah kamu ke bumi, di sana kamu hidup dan di sana pula kamu akan mati.”


Akibat melanggar larangan Allah itulah, maka terlepaslah pakaian yang bagus-bagus itu dan terpaksa mereka berdua menutupi auratnya dengan daun-daun kayu.


Adam dan Hawa diturunkan ke bumi. Mereka diturunkan di tempat yang berbeda, dengan jarak yang sangat berjauhan. Konon, Adam diturunkan di Tanah Hindia, sedang Hawa di Tanah Arab. Mereka pun saling mencari. Sulit dibayangkan bagaimana situasi waktu itu. Namun yang jelas mereka tidak segera dapat saling bertemu.


Di bumi mereka harus menghadapi tantangan berat untuk mempertahankan kehidupan. Wajah bumi yang belum terjamah tangan manusia keadaannya sangat menyeramkan. Gunung-gunung menjulang tinggi, jurang-jurang terjal menganga lebar, pohon-pohon raksasa tumbuh berserakan, binatang-binatang buas baik yang besar maupun yang kecil berkeliaran dimana-mana.


Untuk melindungi tubuhnya dari hawa dingin dan panas serta sengatan serangga, mereka memakai kulit binatang sebagai pakaiannya.


Selama bertahun-tahun keduanya saling mencari dan berkelana dari satu tempat ke tempat lainnya. Perjalanan yang ditempuh sangat sukar dan penuh bahaya. Derita dan sengsara benar-benar mereka rasakan. Pada akhirnya mereka bertemu di Padang Arafah setelah saling mencari selama 40 tahun.


Pertemuan kakek dan nenek manusia itu diyakini terjadi di sebuah bukit yang disebut Jabal Rahmah, di tengah sebuah padang yang luas yang kini dikenal sebagai Padang Arafah, di kawasan Mekah. Artinya padang tempat kenal-mengenal antara Adam dan Hawa yang sudah lama tidak bertemu. Di musim haji Padang Arafah digunakan sebagai tempat wukuf para jema’ah haji. Tanpa wukuf di Arafah, ibadah haji tidak akan diterima Allah.


Betapa terharunya Adam melihat keadaan istrinya yang telah kepayahan, sengsara menapak jalan yang sulit dan kejam. Mereka berpelukan, menangis penuh haru.


***


Kini mulailah babak baru bagi kehidupan cikal-bakal anak manusia. Adam dan Hawa tinggal di sebuah gua yang besar dan lebar. Gua itu terletak di dataran tinggi, sehingga tak gampang diserang binatang buas.


Dengan bekal pengetahuan yang telah diajarkan Allah semasa di surga, Adam mulai mengelola alam di sekitarnya. Ia menjinakkan binatang liar untuk diternakkan, mengolah lahan pertanian dan perkebunan buah-buahan. Tantangan alam yang sangat keras telah menggerakkan akal pikiran Adam untuk dapat mempertahankan kehidupan dengan keadaan yang lebih baik.

Kisah Perkawinan di Zaman Nabi Adam (3)

Allah menciptakan Adam dari sari tanah liat, sementara Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Namun anak keturunan mereka di belakang hari diciptakan dari sperma dan ovum manusia yang saling bercinta.
Firman Allah:


“Sesungguhnya aku telah menciptakan manusia dari sari pati yang berasal dari tanah, kamudian aku jadikan saripati itu air mani di tempat yang kukuh, kemudian aku jadikan air mani itu segumpal darah, segumpal daging, yang kemudian membungkus tulang belulang, dan aku jadikan dia makhluk yang berbentuk lain.”


Anak-anak keturunan Adam dan Hawa dilahirkan berpasang-pasangan alias kembar dua, lelaki-perempuan. Namun pasangan itu, tidak boleh saling menikah. Pernikahan hanya diperbolehkan dengan pasangan kembar lainnya. Di antara anak-anak itu ada dua pasangan kembar yang membuat ulah, yaitu pasangan Qabil-Iqlimah dan Habil-Labuda.


Menurut aturan hukum perkawinan yang berlaku kala itu, Qabil boleh mengawini Labuda, dan Habil harus kawin dengan Iqlima. Adapun perkawinan Qabil dengan Iqlima dan Habil dengan Labuda, tidak perbolehkan, karena mereka sama-sama lahir (saudara) kembar, dan perkawinan itu harus disilang, antara yang lahir kembar terdahulu dengan yang lahir kembar sesudahnya, asal jangan dengan yang sama-sama lahir atau kembarannya. Namun karena di mata Qabil, wajah Labuda tidak secantik Iqlima, ia menolak aturan itu.


Qabil pun bertekad tetap ingin mengawini Iqlima. Tentu saja hal ini tidak diperbolehkan oleh Adam. Karena Qabil tetap bersikeras pada keinginannya, maka Adam kemudian meminta pertolongan kepada Allah, yang kemudian memerintahkan berkorban kepada Qabil dan Habil. Maka keduanya mengadakan kurban, barangsiapa yang kurbannya diterima Allah, maka dialah yang boleh mengawini Iqlima.


Dengan disaksikan seluruh anggota keluarga Adam, Qabil dan Habil mempersembahkan korban di atas bukit. Qabil mempersembahkan hasil pertaniannya. Ia sengaja memilih hasil gandum dari jenis yang jelek. Sedang Habil mempersembahkan seekor kambing terbaik dan yang paling ia sayangi.


Dengan berdebar-debar mereka menyaksikan dari jauh. Tak lama kemudian nampak api besar menyambar kambing persembahan Habil, sedangkan gandum persembahan Qabil tetap utuh, yang berarti kurbannya tidak diterima. Peristiwa ini tercatat dalam Al-Qur’an Surat Al-Maidah ayat 27-30:


“Ceritakanlah hai Muhammad kepada mereka dengan sebenarnya, tentang riwayat dua orang anak Nabi Adam (yang bernama Habil dan Qabil), yaitu ketika keduanya berkurban kepada Allah. Maka Allah hanya menerima korban salah seorang di antara keduanya (yaitu Habil), Allah tidak menerima kurban dari yang lainnya (yaitu Qabil) – sebab itulah Qabil marah kepada Habil – seraya berkata, ‘Demi Allah, saya akan membunuh kamu’.”


Jawab Habil:


“Sesungguhnya Allah menerima korban dari orang-orang yang takut. Demi Allah jika engkau memukul saya dengan tanganmu karena hendak membunuh saya, maka saya tidak akan membalas pukulanmu itu, karena saya takut kepada Allah yang memelihara semesta alam ini. Saya berharap supaya engkau kembali dengan membawa dosa karena membunuh saya beserta dosamu sendiri, maka engkau akan termasuk golongan orang-orang yang masuk neraka. Demikianlah balasan orang-orang yang aniaya.”


Setelah Qabil membunuh Habil, Qabil merasa kebingungan, bagaimana cara merawat mayat saudaranya itu. Pada saat kebingungan itulah, Allah memperlihatkan kepada Qabil, dua ekor burung gagak berkelahi dan seekor diantaranya mati terbunuh, maka burung yang hidup itu menggali tanah, lalu bangkai kawannya itu dikuburkan ke dalam lubang yang kemudian ditimbuninya.


“Kemudian Allah mengirim seekor burung gagak, yang melubangi tanah dengan paruh dan kakinya, supaya diperlihatkan kepada Qabil itu, bagaimana semestinya ia menguburkan mayat saudaranya. Ketika ia melihat perbuatan burung itu, maka katanya, “Amat celaka nasib saya, tidak bisakah saya berbuat sebagaimana yang dikerjakan burung gagak ini? Dengan jalan demikian, dapatlah saya menguburkan mayat saudaraku ini.”


Maka ia termasuk golongan orang-orang yang menyesali dari sendiri. Dengan demikian Habil adalah manusia pertama yang meninggal dunia di muka bumi ini.


Adapun Nabi Adam sendiri konon, wafat dalam usia 1000 tahun, dan diyakini dimakamkan di Hindustan. Namun riwayat lain menyebutkan, Nabi Adam dimakamkan di Mekah, bersebelahan dengan makam Hawa, yang wafat setahun kemudian setelah Nabi Adam wafat.


Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari menyebutkan:


“Sesungguhnya Allah menciptakan Adam pada hari Jum’at, diturunkan ke bumi pada hari Jum’at, bertobat kepada Allah atas dosanya karena memakan buah pohon Khuldi pada hari Jum’at, dan meninggal juga pada hari Jum’at.”


Sumber bacaan: (Alkisah Nomor 9 /10 – 23 Nov 2003)

Nabi Idris AS, Manusia Pertama Yang Menulis dengan Pena

Kisah Nabi Idris AS dengan Malaikat Pencabut Penyawa

Izrael, Malaikat pencabut nyawa sangat mengagumi kepandaian Nabi Idris. Izrael ingin lebih mengenal Nabi Idris. Atas izin Allah, diam-diam Izrael menyamar sebagai manusia dan bertamu ke rumah Nabi Idris.


“Assalamu’alaikum,” Malaikat Izrael memberi salam sambil mengetuk pintu.


“Wa’alaikum salam,” jawab Nabi Idris, “Silahkan masuk, siapakah itu, dan ada perlu apa datang kemari?”


Izrael menyampaikan maksudnya untuk berkenalan dengan Nabi Idris sebagai utusan Allah. Akhirnya Nabi Idris mengajak Izrael menginap di rumahnya.


Di rumah Nabi Idris, keduanya asyik beribadah, mereka tidak banyak bicara melainkan terus beribadah. Ketika tiba waktu makan, Nabi Idris mempersilahkan tamunya makan. Tamunya menolak. “Silahkan tuan makan sendiri, saya ingin melanjutkan ibadah saya kepada Allah,” jawabnya.


Setelah makan nabi Idris melanjutkan ibadah bersama tamunya sampai tiba waktu tidur. “Silahkan tuan tidur disini,” Nabi Idris menunjukkan tempat tidur tamu.


“Silahkan tuan tidur dulu, saya masih ingin melanjutkan ibadah saya,” jawab sang tamu, tanpa menunjukkan rasa lelah.


Keesokan harinya, kejadian yang sama berulang. Nabi Idris sangat heran,, siapakah sebenarnya tamu ini, kenapa tamu aneh ini tidak mau makan dan tidur? Dengan hati-hati Nabi Idris menanyakan hal itu kepada tamunya.


“Saya adalah Izrael, Malaikat pencabut nyawa,” kata sang tamu. Nabi Idris sangat kaget. “Jadi, engkau datang untuk mencabut nyawa saya?” tanya Nabi Idris.


Izrael menggeleng, lalu menjelaskan keinginannya untuk mengenal Nabi Idris lebih jauh. Barulah Nabi Idris sadar, memang begitulah kehidupan malaikat. Dan para Malaikat memang suka mendekati orang-orang yang beriman. Bila orang beriman sedang shalat, berdoa, atau melakukan amal saleh, banyak malaikat yang mengerumuninya.


“Sebenarnya saya ingin merasakan bagaimana rasanya jika nyawa seseorang sedang di cabut,” ujar Nabi Idris tiba-tiba.


“Permintaan tuan aneh sekali,” kata Izrael. Selama ini manusia justru takut nyawanya akan dicabut.


Idris menjelaskan kepada Izrael bahwa pengalamannya akan menjadi bekal dalam berdakwah. Dengan izin Allah, Malaikat Izrael melakukan apa yang diminta Nabi Idris. Dicabutnya nyawa Nabi Idris, lalu segera dikembalikan lagi.


“Saya tidak merasakan apa-apa,” kata Idris setelah bangun dari kematiannya


“Karena saya melakukannya dengan lembut. Begitulah yang selalu saya lakukan terhadap orang-orang beriman,” kata Izrael.


“Bagaimana dengan orang yang tidak beriman? Tanya Nabi Idris penasaran.


“Oh, mereka akan merasakan luar biasa kesakitan waktu nyawa mereka dicabut,” kata Izrael. Nabi Idris ingin mendengarnya. Terlebih waktu Izrael mengatakan, rasa sakit itu akan dirasakan simati sampai hari kiamat. Nabi Idris tidak mampu membayangkan betapa sakitnya. Sakit sehari saja rasanya sudah tidak tahan, apalagi kalau harus menanggungnya hingga ratusan tahun sambil menunggu waktu kiamat tiba. Sebaliknya orang yang beriman akan merasakan kebahagiaan. Setelah mati, mereka akan menikmati hasil setiap amal saleh mereka di dunia,” tutur Izrael menjelaskan.

Nabi Nuh, Lebih dari 950 Tahun Berdakwah

Istri dan Putra Nabi Nuh pun Tenggelam (habis)

Setelah pengaduan Nabi Nuh diterima Allah SWT, Allah pun memberikan berita kepada Nabi Nuh, kelak kaumnya yang kafir itu akan ditenggelamkan. Allah memerintahkan kepada Nabi Nuh agar tidak lagi membicarakan mereka. Jangan lagi berdialog dengan mereka, jangan pula menengahi urusan mereka, sebagai balasannya, kelak mereka akan ditenggelamkan, apapun kedudukan mereka dan apapun kedekatan mereka dengan Nabi Nuh (QS. Hud: 37).




Nabi Nuh pun akhirnya menerima perintah Allah SWT untuk membuat perahu dengan petunjuk dan pengawasan-Nya. Maka mulailah Nabi Nuh menanam pohon untuk membuat perahu darinya. Ia menunggu beberapa tahun. Ibnu Katsir menerangkan, Nabi Muhammad SAW menjelaskan, Nabi Nuh menanam sebatang pohon selama 1000 tahun, hingga pohon itu tumbuh besar dan bercabang dimana-mana.


Setelah itu ia memotongnya, dan kemudian mulailah Nabi Nuh membuat perahu, lalu kaumnya yang berjalan melewatinya saat Nabi Nuh sedang serius membuat perahu mengejeknya. “Kau membuat perahu di daratan, bagaimana ia akan bisa berlayar? Sungguh Nuh telah gila!, maka Nuh pun menjawab, Kelak kalian akan mengetahui.”


Dengan kesabaran dan ketabahan luar biasa, ditengah-tengah ejekan dan cacian itu, akhirnya jadilah perahu yang besar, tinggi dan kuat. Lalu Nabi Nuh duduk menunggu perintah Allah SWT. Maka Allah mewahyukan kepada Nabi Nuh, jika ada yang mempunyai dapur (At-Tannur), ini sebagai tanda dimulainya angin topan.


Dijelaskan yang dimaksud dengan At-Tannur sebenarnya adalah alat untuk memanggang roti yang ada di dalam rumah Nabi Nuh. Jika keluar darinya air dan ia lari, itu merupakan perintah atau tanda bagi Nabi Nuh untuk bergerak.


Pada suatu hari, Tannur itu mulai menunjukkan tanda-tandanya, maka Nabi Nuh segera membuka perahunya dan mengajak orang-orang Mukimin untuk menaikinya, Jibril turun ke Bumi. Menggiring setiap binatang yang berpasangan agar setiap species binatang tidak punah dari muka bumi, sebab badai dan angin topan akan menenggelamkan semuanya. Nabi Nuh membawa burung, binatang buas, binatang yang berpasang-pasangan, sapi, gajah, semut dan lain-lain. Dalam perahu itu Nabi Nuh telah membuat kandang binatang buas.


Istri Nabi Nuh pun Tenggelam


Istri Nabi Nuh tidak beriman kepadanya, sehingga ia tidak ikut menaiki perahu. Salah seorang anaknya yang menyembunyikan kekafirannya, dengan menampakkan keimanan di depan Nabi Nuh pun tidak ikut dalam perahu itu. Mayoritas kaum Nabi Nuh waktu itu tidak beriman, sehingga mereka tidak ikut serta. Ibnu Abbas berkata, “Hanya 80 orang dari kaum Nabi Nuh yang beriman kepadanya.”


Air mulai meninggi, keluar dari celah-celah bumi. Sementara dari langit turunlah hujan yang sangat deras. Hujan semacam ini belum pernah turun sebelumnya, bahkan tidak akan pernah turun lagi sesudahnya. Maka laut pun bergolak, ombaknya menerpa apa saja dan menyapu isi bumi.


Banjir bandang terjadi dimana-mana, airpun meninggi di atas kepala manusia, melampaui ketinggian pohon yang paling tinggi, bahkan puncak gunung pun akhirnya tenggelam. Akhirnya seluruh permukaan bumi diselimuti oleh air, tak ada satupun yang selamat, kecuali yang ikut berlayar bersama perahu Nabi Nuh.


Demikianlah Allah azza wajalla menurunkan azabnya ke muka bumi. Azab itu diturunkan lantaran semua umat manusia telah berpaling dari Tuhannya.


Topan yang dialami Nabi Nuh terus berlanjut dalam beberapa zaman, kita tidak dapat mengetahui batasnya. Kemudian datanglah perintah Allah, agar langit menghentikan hujannya dan bumi tetap tenang hingga dapat menelan air bah itu.


Dan difirmankan, “Hai bumi, telanlah airmu, dan hai langit (hujan), berhentilah.” Dan airpun disurutkan, perintah pun diselesaikan, dan bahtera itu pun berlabuh di atas bukit Judi. Dan dikatakan, binasalah orang-orang yang zalim (QS. Hud: 44), yakni kehancuran bagi kaum Nabi Nuh yang ingkar terhadap firman Allah. Dengan begitu bumi telah dibersihkan dari mereka.


Disebutkan oleh pengarang kitab Ambiya Allah, hari berlabuhnya perahu Nabi Nuh di atas bukit Judi terjadi pada Asyura (hari ke 10 bulan Muharram).


Putra Nabi Nuh Ikut Tenggelam


Ketika air bah dan banjir bandang kian kencang, Nabi Nuh menyuruh kaumnya yang beriman, “Naiklah kamu sekalian ke dalam bahtera dengan menyebut nama Allah di waktu berlayar dan berlabuhnya.” (QS. Hud: 41). Sementara itu sebagian besar kaum Nabi Nuh yang tidak beriman mencari selamat dengan mendaki gunung yang paling tinggi.


Di antara kaumnya itu, di tempat terpencil dan jauh, Nabi Nuh melihat anak kesayangannya. Nabi Nuh tidak mengetahui, saat itu putranya menjadi kafir. Ia benar-benar tidak mengetahui seberapa jauh bagian keimanan yang ada pada anaknya.


Lalu tergeraklah naluri kasih sayang seorang ayah. Maka Nabi Nuh pun berseru kepada Tuhannya. “Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar, dan Engkaulah hakim yang seadil-adilnya.” (QS. Hud: 45)


Dan Nabi Nuh pun menyeru kepada anaknya. “Hai anakku, naiklah (ke Perahu) bersama kami, dan janganlah kamu berada bersama orang-orang kafir.” Mendengar ajakan ayahnya, anaknya pun menjawab. “Aku akan mencari perlindungan ke atas Gunung yang dapat memeliharaku dari air bah.” Namun, Nabi Nuh berkata, “Tidak ada yang bisa melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah (saja) yang maha Penyayang.” (QS. Hud: 43). Tiba-tiba gelombang menggulung dan menjadi penghalang percakapan diantara keduanya. Maka jadilah anak Nabi Nuh termasuk orang yang ditenggelamkan.


Nabi Nuh AS ingin berkata kepada Allah SWT, anaknya termasuk dalam keluarganya yang beriman, sedangkan Allah telah berjanji akan menyelamatkan keluarganya yang beriman. Tetapi Allah berkata dan menjelaskan kepada Nabi Nuh keadaan yang sebenarnya. Anak Nabi Nuh hanya berpura-pura beriman di hadapan ayahnya.


“Hai Nuh, sesungguhnya dia tidak termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan). Sesungguhnya perbuatannya tidak baik. Sebab itu, janganlah engkau memohon kepadaku, sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakikatnya). Aku peringatkan kepadamu, janganlah kamu termasuk orang-orang yanag tidak berpengetahuan.” (QS. Hud: 46).


Di sini terdapat pelajaran penting yang terkandung dalam ayat-ayat yang mulia itu. Allah ingin berkata Nabi nya yang mulia itu, anaknya tidak termasuk dalam keluarganya karena ia tidak beriman kepada Allah SWT. Hubungan darah bukanlah hubungan hakiki di antara manusia, sebab anak seorang Nabi pada hakikatnya adalah yang meyakini akidah, yaitu yang mengikuti Allah SWT dan Nabi-Nya, bukan yang menghindar, bukan pula yang menentangnya.


Habis

Kisah Nabi Hud AS, Tetap Sabar Menghadapi Kaum Ad

Karena tak seorangpun kaum Ad yang mau beriman, Nabi Hud hanya bisa pasrah kepada Allah SWT. Meski begitu ia tetap sabar dan tidak bersikap emosional. Lalu katanya dengan tegas, “Sesungguhnya aku bersaksi kepada Allah SWT dan saksikanlah olehmu sekalian bahwa sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan selain dari Allah. Sebab itu, jalankanlah semua tipu dayamu terhadapku, dan janganlah kamu memberi kelonggaran kepadaku.” (QS Hud: 54-55).


Nabi Hud berkata lagi, “Sesungguhnya aku bertawakkal kepada Allah SWT, tuhanku dan tuhanmu, tidak satupun binatang melata, melainkan Dialah yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya tuhanku dijalan yang lurus. Jika kamu berpaling, sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu segala apa yang aku di utus oleh Allah. Tuhanku akan mengganti dengan kaum yang lain, (karena) kamu tidak dapat membuat mudarat sedikitpun kepada-Nya. Sesungguhnya tuhanku Maha Pemelihara segala sesuatu.” (QS Hud: 56-57).


Segala daya upaya Nabi Hud tidak berhasil. Maka tidak ada jalan lain baginya kecuali pasrah dan menunggu janji Allah SWT berupa siksa dan azab bagi kaum Ad yang ingkar itu. Mula-mula Allah menguji mereka dengan kekeraingan yang luar biasa. Begitu terik matahari ketika itu, sehingga batu-batu yang di sentuh pun memercikkan bola api. Di tengah krisis itu, kaum Ad bertanya kepada Nabi Hud, “Mengapa terjadi kekeringan ini, wahai Hud?”


“Sesungguhnya Allah SWT telah murka kepada Kalian. Jika kalian beriman, Allah SWT akan menurunkan hujan.”


Mereka bukannya bertobat, tetapi justru mengejek dan semakin menganggap bahwa Nabi Hud benar-benar telah gila. Akibatnya, masa kekeringan semakin panjang dan dahsyat. Pepohonan yang hijau pun mulai menguning menegering lalu mati semua. Dan tak lama kemudian, datanglah awan besar menggelantung bergulung-gulung di langit. Melihat itu kaum Ad gembira, mengira hujan akan segera turun.


Namun betapa kagetnya mereka ketika tiba-tiba udara berubah, yang tadinya panas dan kering menjadi sangat dingin menusuk tulang. Angin bertiup sangat kencanag, menerbangkan semua benda di atas bumi. Dari hari ke hari, udara dingin semakin dingin. Maka kaum Ad pun mulai ketakutan, berlarian kesana kemari mencari perlindungan.


Namun, badai semakin kencang, menghancurkan tenda dan rumah-rumah, menerjang dan membunuh apa saja, tetumbuhan maupun hewan, mencabik dan merobek pakian, bahkan mengelupas kulit kaum Ad. tak terkecuali. Nabi Hud mengungsi bersama kaum yang beriman. Dan selama dalam pengungsian itu, badai dingin terus menghantam selama tujuh malam dan delapan hari.


Itulah azab yang Allah timpakan kepada kaum Ad yang selalu ingkar. Mayatpun bergelimpangan dimana-mana. “Allah menimpakan angin itu kepada mereka selama tujuh malam dan delapan hari terus-menerus. Maka kamu lihat kaum Ad ketika itu mati bergelimpangan seakan-akan mereka tunggul pohon kurma yang lapuk.” (QS Al-Haqqah: 7).


Tak satu benda atau binatang pun yang tersisa, tak seorang pun yang hidup. Semua binasa bak pohon kurma yang lapuk. Sementara Nabi Hud dan kaum yang beriman di selamatkan oleh Allah SWT.

Kisah Nabi Shaleh AS, Balasan Allah terhadap Kaum Tsamud

Tak henti-hentinya ia berdakwah di jalan Allah, siang dan malam. Dengan penuh kesabaran dan cinta, ia berusaha menunjukkan kaumnya kembali kejalan yang benar. Kaumnya meminta bukti kenabian, lalu Allah SWT memberikannya, berupa Unta Betina yang amat Elok. Tetapi kaumnya tetap ingkar.


Nabi Shaleh AS adalah anak Ubaid bin Jabir bin Tsamut. Kaumnya bernama “Tsamut” nama yang dibangsakan kepada kakeknya yang bernama Tsamut bin Amir bin Iram bin Sam bin Nuh. Jadi Nabi Saleh itu adalah keturunan Nabi Nuh AS yang keenam.


Mereka tinggal di pegunungan dan bukit-bukit yang mereka jadikan sebagai tempat tinggal, yang terletak antara Hejaz dan Syam, di sebelah tenggara negeri Madyan.


Nabi Shaleh AS berkata kepada kaumnya, “Wahai kaumku, sembahlah Allah, yang tiada tuhan lain bagi kalian selain Dia.” (QS. Hud: 61). Kalimat yang sama yang disampaikan oleh para Nabi. Kalimat tersebut tidak pernah berubah, sebagaimana kebenaran juga tidak pernah berubah.


Nabi Shaleh AS menyatakan, tuhan yang mereka sembah, yakni patung-patung dan berhala itu, tidak memiliki nilai apa-apa. Nabi lalu melarang mereka untuk menyembahnya dan meminta kepada kaumnya supaya hanya menyembah Allah SWT.


Rupa-rupanya seruan dan dakwah Nabi Shaleh AS itu cukup menggemparkan kaumnya. Mereka terkejut dengan apa yang dikatakannya. Mereka tidak percaya, kenapa tiba-tiba ada sebagian dari bangsa Tsamud yang melarang mereka menyembah berhala. Padahal kebiasaan ini sudah berlangsung lama dan mereka mewarisinya dari nenek moyang mereka.


Yang lebih mengagetkan mereka, kenapa yang menyampaikan berita tersebut justru Shaleh, orang yang selama ini mereka anggap dan sangat terkenal karena kejujuran dan kebaikannya. Kaumnya sangat menghormatinya, karena Shalih dikenal memiliki keluasan ilmu, kematangan akal, dan kejernihan hati. Dan mereka sangat berharap kelak dia akan bersedia menjadi pemimpin mereka.


“Hai Shalih, sesungguhnya kamu sebelum ini adalah seorang diantara kami yang kami harapkan, apakah kamu melarang kami untuk menyembah apa yang disembah oleh bapak-bapak kami? Dan sesungguhnya kami betul-betul dalam keraguan yang menggelisahkan terhadap agama yang kamu serukan kepada kami.” (QS. Hud: 62). Lebih keras lagi sebagian pemuka kaumnya berkata, “Alangkah celakanya! Kami tidak berharap engkau mencela tuhan-tuhan kami yang kami mendapati orangtua-orangtua kami menyembahnya!”


Demikianlah kaum Nabi Shalih AS merasa bingung berhadapan dengan kebenaran. Mereka heran terhadap saudara mereka, Shaleh yang mengajak mereka untuk menyembah Allah SWT. Mengapa bisa demikian? Tiada lain, karena mereka tidak memiliki alasan dan pemikiran yang benar. Mereka hanya beralasan bahwa kakek-nenek mereka menyembah tuhan-tuhan berhala sebagaimana yang mereka lakukan sekarang. Mereka hanya mengikuti secara membabi buta, alias taklid, sehingga mereka terjerumus ke dalam kekufuran dan kesesatan.


Di tengah-tengah kekufuran kaumnya itulah, Allah mengutus seorang Nabi, yakni Nabi Shaleh AS. Ia diutus untuk menghilangkan taklid buta itu. Sebagai gantinya, Nabi Shaleh menyebarkan akidah Tauhid, untuk membebaskan segala pikiran dan belenggu kesesatan. “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tiada tuhan bagimu selain Dia.” (QS. Hud: 61).


Namun demikian, meskipun disampaikan dengan penuh ketulusan, kasih sayang dan cinta, dakwah Nabi Shaleh AS tetap saja ditentang oleh kaumnya. Mereka meragukan dakwahnya. Mereka mengira, Nabi Shaleh telah terkena sihir sehingga menyampaikan dakwah yang terasa asing di telinga kaumnya.


Mendapat perlawanan dari kaumnya, Nabi Shaleh tidak putus asa, bertahun-tahun ia terus menyampaikan ajaran-ajarannya. Ia sabar dan tabah menerima segala cobaan dari kaumnya. Biarpun tidak banyak, Nabi Sahleh akhirnya mempunyai pengikut juga. Mereka kebanyakan adalah orang-orang miskin.

Kisah Nabi Shaleh AS dan Unta Betina

Kenyataan tersebut membuat para pemimpin masyarakat Tsamud gusar. Mereka lalu mencari akal, bagaimana cara mempengaruhi pengikut Nabi Shaleh itu. Mereka menginginkan agar Nabi Shaleh tidak mempunyai pengikut sama sekali. Caranya ialah menentang Nabi Shaleh AS untuk membuktikan kemampuannya mendatangkan mukjizat.


Menurut pendapat mereka, kalau Nabi Shaleh itu tidak dapat menunjukkan suatu Mukjizat, tentulah pengikutnya akan menjauhinya. Para pemuka masyarakat Tsamud lalu mendatangi Nabi Shaleh. “Hai Shaleh, kalau engkau benar-benar seorang Nabi, perlihatkanlah kepada kami suatu Mukjizat! Kalau tidak, tentulah engkau pembohong!” kata salah seorang pemuka masyarakat itu.


Nabi Shaleh AS memang tidak mampu mendatangkan suatu Mukjizat, akan tetapi ia yakin, kalau itu syarat agar kaumnya mau mengikuti ajarannya, ia akan memohon kepada Allah SWT. Ia percaya Allah SWT pasti akan mengabulkan permohonannya.


“Akan kutunjukkan kepadamu suatu Mukjizat! Tetapi dengan satu syarat, kalian semua harus mengikutiku menyembah Allah!” kata Nabi Shaleh AS. Ia mengajukan syarat itu kepada tokoh-tokoh masyarakatnya, syarat itu mereka setujui, ia yakin kalau pemuka-pemuka masyarakatnya sudah bertobat dan menyembah Allah, rakyat akan mengikutinya.


Nabi Shaleh lalu berdoa sepenuh hati kepada Allah. “Ya Tuhanku! Kaumku tetap mendustakan kenabianku. Hanya sedikit orang yang mau mendengar kata-kataku. Untuk meyakinkan mereka, sudilah Engkau memberikan kepadaku suatu Mukjizat sebagai tanda kebenaranku. Mudah-mudahan mereka akan mengikutiku di jalan-Mu yang lurus!”


Allah mengabulkan permohonan Nabi Shaleh AS. Seekor Unta Betina yang luar biasa indahnya akan muncul dari puncak bukit. Unta itu gemuk, sehat dan bagus sekali. Belum pernah ada unta seindah itu dipermukaan bumi ini. Unta itu mempunyai air susu yang tidak habis-habisnya. Setiap orang boleh mengambil air susunya. Akan tetapi unta itu harus dibiarkan bebas berkeliaran. Ia tidak boleh diganggu. Dan pada hari-hari tertentu unta itu harus diberi kesempatan untuk minum sepuas-puasnya pada sumur penduduk.


Ilham yang diturunkan oleh Allah itu diberitahukannya kepada para pemuka masyarakat Tsamud. Lalu Nabi Shaleh menyuruh mereka berkumpul di kaki sebuah bukit di pinggiran kota Alhijir. Para pemuka masyarakat dan penduduk pun ramai berkumpul di kaki bukit itu. Mereka semua ingin menyaksikan keajaiban yang akan diperlihatkan oleh Nabi Shaleh AS.


Setelah penduduk berkumpul semuanya, Nabi Shaleh berdoa, menadahkan tangannya ke langit. Selesai berdoa, kilat menyambar-nyambar di puncak bukit itu. Kilat itu terang sekali, cahayanya sangat menyilaukan. Tak lama kemudian di puncak bukit itu bergemuruh. Tanah terguncang seperti gempa. Tiba-tiba puncak bukit itu terbelah. Bersamaan dengan itu, seekor unta betina yang sangat indah keluar dari dalam tanah. Unta itu berdiri dengan megahnya.


Para pemuka masyarakat dan semua yang hadir sama-sama tercengang. Unta itu lalu turun dari atas bukit, langsung menuju sumur penduduk. Ia minum sepuas-puasnya. Benar seperti yang dikatakan Nabi Shaleh AS, Unta itu selalu mengeluarkan air susu yang tidak habis-habisnya.


Kepada semua penduduk, Nabi Shaleh mengatakan agar menjaga keselamatan unta itu, lalu berseru, “Hai kaumku, inilah unta betina dari Allah sebagai mukjizat (yang menunjukkan kebenaran) untukmu, sebab itu biarkanlah ia makan di bumi Allah, dan janganlah kamu mengganggunya dengan gangguan apapun yang akan menyebabkan kamu ditimpa azab yang dekat.” (QS. Hud: 64).


Tetapi apakah dengan Mukjizat unta itu mereka akan mengakui kebesaran Allah? Ternyata tidak! Para pemuka masyarakat itu malah menuduh Nabi Shaleh tukang sihir. Namun begitu, sejak peristiwa itu, pengaruh Nabi Shaleh di kalangan kaumnya makin besar. Para pengikutnya semakin yakin akan kebenaran yang diajarkan Nabi Shaleh AS. Pengikutnya pun makin bertambah. Sementara itu Unta yang dalam Al-Qur’an disebut Naqatullah, Unta Allah, bebas berkeliaran. Penduduk takut mengganggunya. Mereka takut akan azab yang di ancamkan oleh Nabi Shaleh AS.


Peristiwa tersebut sangat mencemaskan para pemuka masyarakat Tsamud. Hal itu tidak boleh dibiarkan. Unta itu jadi perlambang kemenangan Nabi Shaleh AS, maka itu harus segera dilenyapkan.

Kisah Nabi Shaleh AS dan Siasat Janda Cantik

Para pemuka kaum Tsamud lalu mengadakan persekongkolan. Mereka menjalankan siasat busuk lagi hina. Seorang janda kaya raya lagi sangat cantik, bernama Shaduk binti Mahya dijadikan sebagai umpan. Perempuan itu mengumumkan kepada penduduk bahwa ia bersedia menyediakan dirinya kepada laki-laki manapun yang dapat membunuh unta Nabi Shaleh itu. Ushadda bin Muharrij, seorang pemuda kekar yang sangat pemberani menyatakan kesanggupannya membunuh unta itu. Bahkan ia mau melakukan apa saja, asal ia dapat memperoleh janda yang kaya raya lagi molek itu.


Ada lagi seorang tua yang mempunyai beberapa gadis cantik. Di hadapan para pemuka Tsamud ia mengatakan bahwa ia akan menyerahkan seorang gadisnya kepada Gudar bin Salif kalau ia mau membunuh unta Nabi Shaleh AS. Gudar memang seorang pemberani. Tentu saja ia menyanggupi karena ia ingin sekali menyunting gadis itu


Mushadda dan Gudar mencari tujuh orang teman lagi. Mereka pun lalu pergi mencari unta itu. Kebetulan unta tersebut sedang menuju sebuah sumur. Para pembunuh itu lalu bersembunyi dalam semak-semak. Saat unta melintas di depan mereka, Mushadda membidikkan panahnya, paha unta itu kena. Unta itu menjerit kesakitan dan berlari, akan tetapi Gudar dengan cepat melompat. Pedangnya ditikamkan ke perut unta itu. Unta itupun roboh dengan pekikan yang menyedihkan. Ususnya berhamburan. Tak lama kemudian unta itu mati.


Mushadda dan Gudar menunggu dengan hati berdebar. Apakah akan terjadi sesuatu setelah unta itu terbunuh? Bukankah Nabi Shaleh telah menyatakan akan datang azab tuhan kalau unta itu dibunuh?


Mereka menunggu beberapa lama, namun tidak terjadi apa-apa legalah hati mereka. Mereka lalu kembali ke kota. Sepanjang jalan mereka berteriak-teriak, memberitahukan bahwa unta Nabi Shaleh telah mereka bunuh. Mereka merasa dirinya sebagai pahlawan. Mereka disambut dan dielu-elukan oleh para pemuka masyarakat Tsamud. Pada saat itu juga mereka mendatangi Nabi Shaleh AS.


“Hai Shaleh, kami telah membunuh untamu itu! Datangkanlah azab yang kau ancamkan kepada kami itu! Kalau tidak, tentulah kau hanya pembohong besar! Kata mereka dengan pongahnya.


“Aku telah bersusah payah mengajak kalian ke jalan yang benar, tetapi kalian tetap menjadi orang yang durhaka kepada Allah. Aku sudah memperingatkan kalian agar tidak menggnggu unta itu, karena unta itu adalah unta Allah, yang hanya mendatangkan keuntungan bagi kalian, tetapi sekarang ia kalian bunuh. Sekarang kalian malah minta agar azab Allah segera dijatuhkan kepada kalian. Sesungguhnya kalian memang patut dibinasakan, karena kalian hanya membuat kerusakan dan membuat kekacauan.”


Setelah itu Nabi Shaleh menyuruh mereka pulang. “Tunggulah azab Tuhan yang akan segera datang. Akan datang petir mengguntur dari langit. Rumah-rumah kalian akan runtuh dan mayat kalian akan bergelimpangan di dalamnya. Akan tetapi bagi mereka yang mengikuti menyembah Allah akan selamat. Tunggulah! Pulanglah kerumah kalian masing-masing. Bersenang-senanglah kalian selama tiga hari, setelah itu kalian akan binasa semuanya!”


“Hai Shaleh, mengapa mesti tiga hari? Kalau engkau memang kuasa, datangkanlah sekarang juga! Kami ingin melihatnya segera!”


Lalu Nabi Shaleh menjawab. “Sungguh kalian ini menjadi orang yang paling durhaka di muka bumi. Neraka jehanamlah yang pantas menjadi tempat kalian kelak. Tunggulah azab itu pasti datang dan tidak satupun diantara kalian yang akan selamat. Tidak ada yang dapat menolong kalian. Apalagi berhala kalian itu. Bukan aku yang mendatangkan azab, tetapi tuhanku, Azza wa jalla!”


Penangguhan waktu tiga hari itu membuat bangsa Tsamud menjadi sangat gelisah. Rupanya Nabi Shaleh AS bermaksud memberi kesempatan berpikir bagi kaumnya yang durhaka itu. Namun percuma saja, mereka bukannya sadar dan bertobat, tapi malah merencanakan untuk membunuh Nabi Shaleh AS.


Mashadda dan Gudar serta ketujuh temannya, pada malam pertama menjelang hari kedua mendatangi rumah Nabi Shaleh AS. Mereka berikrar akan membunuhnya malam itu. Akan tetapi Allah melindungi utusan-Nya. Batu-batu besar berjatuhan dari langit menimpa kepala mereka satu persatu. Mereka bersembilan mati saat itu juga.


Nabi Shaleh akhirnya memutuskan tidak ada lagi gunanya tinggal bersama orang-orang durhaka itu. Sehari sebelum turunnya azab, berangkatlah Nabi shaleh AS bersama pengikutnya meningglkan Alhijir, negeri mereka, menuju tanah Palestina. Tatkala Nabi Shaleh dan pengikutnya sudah berada di tempat aman, tampaklah awan hitam yang sangat tebal menggantung di atas kota kaum Tsamud. Kemudian terdengar suara mengguntur sangat dahsyat di langit. Petir dan halilintar menyambar dan meruntuhkan seluruh bangunan dan kebun mereka.


Bangsa Tsamud yang durhaka kepada Allah SWT itu semuanya binasa. Terbakar hangus laksana rumput kering. Bumi pun berguncang keras sekali dan akhirnya tempat itu meledak dengan suara yang sangat dahsyat. Semuanya menjadi abu, berterbangan di tiup angin.


“Alangkah dahsyatnya azab-Ku dan ancaman-ancaman-Ku. Sesungguhnya kami menimpakan atas mereka satu suara yang keras mengguntur. Maka jadilah mereka seperti rumput kering (yang di kumpulkan oleh) yang punya kandang binatang.” (QS. Al-Qomar: 30-31).

Bangsa Tsamud dan peradabannya lenyap, seperti tidak pernah ada di permukaan bumi. Mereka hancur sebelum mengetahui apa yang terjadi. Yang tinggal hanyalah sejarahnya yang di nukilkan dalam kitab suci, agar menjadi peringatan bagi umat manusia sesudahnya. Sedangkan orang-orang yang beriman bersama Nabi Shaleh AS, telah meninggalkan tempat itu sehingga mereka selamat.

Nabi Ibrahim AS, Menemukan Allah Melalui Pengamatan pada Alam

Allah menyelamatkan Ibrahim dari kebengisan Raja Namrud. Ibrahim pendiri Baitullah (Ka’bah), yang menghancurkan berhala-berhala dan menyeru manusia untuk hanya menyembah Allah.


Ibrahim dilahirkan di sebuah tempat bernama Faddam, A’ram, Mausul, Irak, yang termasuk wilayah Kerajaan Babilon. Pada 2.295 SM. Kerajaan Babilon waktu itu diperintah oleh seorang Raja yang bengis dan mempunyai kekuasaan yang absolut, yaitu Namrudz. Ayah Ibrahim bernama Azar (Tarih) bin Tahur bin Saruj bin Rau’ bin Falij bin Aabir bin Shalih bin Afrakhsyad bin Sam bin Nuh AS. Ia adalah seniman membuat patung yang ulung, dan sangat dicintai oleh Raja Namrud. Patung-patung buatan ayahnya itu dijadikan sesembahan. Patung-patung itu dianggap sebagai Tuhan.


Suatu saat, Raja Namrud mendapat firasat, bahwa suatu waktu akan lahir anak laki-laki yang akan menjatuhkan tahta kerajaannya. Sejak itu, Raja Namrud - yang mengaku dirinya sebagai Tuhan – memerintahkan tentaranya agar menjaga seluruh pelosok negeri. Bila menemukan bayi lelaki, mereka harus segera membunuhnya. Hal ini leluasa dilakukannya, sebab memang negeri Irak pada saat itu tidak mempunyai undang-undang. Semua keputusan ada di tangan Raja.


Maka banyak sekali bayi lelaki yang mati pada masa itu. Pada masa itu pula, bayi lelaki dilahirkan istri Azar (dalam Kitab Taurat, Azar disebut dengan nama Taroh). Mendengar berita buruk itu, Azar membuang Ibrahin ke Gua di dalam Hutan. Atas kehendak Allah, Ibrahin tidak di ganggu binatang buas. Diapun tidak pernah kelaparan dan kehausan. Atas kehendak Allah pula, jari-jari Ibrahim dapat mengeluarkan cairan Madu. Mulut Ibrahim tinggal mengulum dan mengecup jari-jemarinya yang dapat mengeluarkan madu itu, bila dia lapar dan haus. Menurut perkiraan Azar, bayi yang dibuangnya itu sudah mati dimakan binatang buas, atau mati karena kelaparan dan kehausan.


Masa kecil Nabi Ibrahim hampir sama dengan masa kecil Nabi Musa, yaitu sama-sama dibuang dan dipisahkan dari keluarga orang tuanya, karena saat itu ada undang-undang yang melarang memelihara bayi laki-laki yang lahir pada tahun itu.


Di zaman Nabi Musa, Raja Fir’aun yang mengeluarkan peraturan bahwa setiap bayi laki-laki dari Bani Israel yang lahir pada tahun itu, harus di bunuh, sehingga banyak bayi laki-laki dari bani Israel yang menjadi korban keganasan Fir’aun.


Sedangkan pada zaman Nabi Ibrahim, Raja Namrudz mengeluarkan Undang-undang kerajaan, yang melarang memelihara dan harus di bunuh semua bayi laki-laki yang lahir pada tahun itu tidak perduli anak siapapun. Kedua Raja yang zalim itu mengeluarkan peraturan yang sama, karena mereka merasa khawatir dan takut jika ada bayi laki-laki dibiarkan hidup, mungkin nanti ada diantaranya yang dapat menghancurkan kerajaannya.


Orang tua Nabi Musa menghanyutkan anaknya ke sungai Nil dimasukkan ke dalam sebuah peti dengan tujuan supaya anak itu tidak dituduh sebagai bayi Bani Israel, dan ia berharap bayi itu dapat di temukan dan dipelihara oleh orang lain. Demikian juga orang tua Nabi Ibrahim, walaupun agamanya agama berhala, tetapi dia tidak sampai hati membunuh anaknya sendiri, Ibrahim. Akhirnya dia memutuskan membuang anaknya itu ke Hutan rimba. Menurut perhitungannya, pasti Ibrahim akan mati di tengah Hutan rimba itu, mungkin akan dimakan ular, srigala atau binatang buas lainnya.


Ternyata dugaan Azar meleset, melihat Ibrahim sehat segar-bugar dan makin besar, Azar senang sekali. Ibrahim ingin pulang, tetapi Azar melarang, karena keadaan di dalam kota tidak aman bagi anak-anak laki-laki. Setelah remaja Ibrahim pun keluar dari dalam gua untuk mencari ibu dan ayahnya. Saat itu, dia makin memahami keadaan dengan pikirannya yang cerdas.


Keajaiban atau keanehan ini disebut irhash, yaitu suatu keajaiban yang luar biasa yang terjadi pada diri seorang Rasul semasa kecilnya, dengan izin Allah SWT.


Ketika dewasa, Ibrahim di utus Allah menjadi rasul-Nya. Nabi Ibrahim heran menyaksikan ayahnya menyembah patung buatannya sendiri. Penduduk negeri pun menyembah berhala. Raja Namrud begitu juga. “Apa-apaan ini,” pikir Nabi Ibrahim.


Nabi Ibrahim memohon kepada Allah agar memperlihatkan kekuasaan-Nya, menghidupkan orang-orang yang sudah mati, seperti tertulis dalam Al-Qur’an, Al-Baqarah, Ayat 260. “Dan ingatlah ketika Ibrahim Berkata, “Ya Tuhanku, perlihatkan kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati.” Allah berfirman, “Apakah kamu belum percaya?, Ibrahim menjawab, “Hamba percaya, tetapi agar bertambah mantap hati hamba.” Allah Berfirman, (Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah burung-burung itu, kemudian letakkanlah burung-burung itu pada bukit-bukit, sesudah itu kamu panggillah burung itu, niscaya mereka akan datang padamu dengan segera, dan ketahuilah Allah mahaperkasa dan Maha Bijaksana.”

Setelah menerima bukti-bukti dari Allah, mengenai apa-apa yang diinginkannya, Nabi Ibrahim merasa puas.

Nabi Ibrahim AS Menghancurkan Berhala

Hidayah Allah telah menerangi hati Nabi Ibrahim. Patung-patung yang disembah ayahnya, yang dijadikan Tuhan oleh penduduk, juga oleh Raja Namrud, menggangu pikiran dan perasaannya. Dia selalu termenung dan bertanya-tanya, “Mengapa manusia menyembah Patung atau berhala-berhala itu? Padahal patung-patung itu tidak dapat mendengar dan melihat, apalagi menghidupkan dan mematikan? Kalau berhala-berhala itu adalah Tuhan, yang dibuat manusia, siapakah yang menciptakan manusia?”


Siang dan malam Ibrahim mencari-cari Tuhan yang sebenarnya dengan akalnya sebagaimana diterangkan dalam Al-Qur’an. “Ketika hari telah malam, Ibrahim melihat bintang, katanya, “Inilah Tuhanku”, tetapi setelah dilihatnya bintang itu terbenam, ia berkata, aku tidak akan bertuhan kepada yang terbenam. Sesudah itu ia juga meliaht Bulan Purnama yang memancarkan cahayanya gilang gemilaang, ia pun berkata, “Inilah Tuhanku?” tetapi setelah bulan itu lenyap, lenyap pula pendapatnya bertuhan pada Bulan itu, dan ia pun berkata, kalau tidak Tuhanku yang sebenarnya yang menunjukkan, tentu aku akan menjadi sesat. Pada waktu siang dilihatnya Matahari, (Yang lebih besar dan lebih bercahaya daripada apa-apa yang dilihat sebelumnya) maka iapun berkata, “O, inilah Tuhanku yang sebenarnya, inilah yang paling besar, tetapi setelah Matahari terbenam iapun berkata, “Hai kaumku, aku tidak mau menyekutukan Tuhan sepertimu, aku hanya bertuhan kepada yang menjadikan langit dan bumi dengan Ikhlas dan sekali-kali tidak mau mempersekutukan-Nya.” (Al-An’am: 76-78).


Setelah Nabi Ibrahim melakukan dakwahnya, menyiarkan agama Allah, dia berani membersihkan keprcayaan-kepercayaan yang tidak benar. Diapun berani menghancurkan berhala-berhala yang tidak memberi manfaat.


Pada suatu hari penduduk negerinya melakukan upacara agama. Mereka keluar kampung bersama Raja Namrud. Kampung manjadi kosong, saat itulah Nabi Ibrahim pergi ke rumah berhala, menghancurkan benda-benda itu satu persatu. Ia sengaja meninggalkan satu berhala besar utuh dengan sebuah kapak dikalungkan pada lehernya.


Ketika penduduk dan Raja Namrud pulang, mereka melihat berhala-berhala sudah hancur. Mereka menduga Ibrahimlah yang memecahkan tuhan-tuhan mereka itu. Raja Namrud murka. Ibraim dipanggilnya. “Wahai Ibrahim, engkaukah yang memecahkan berhala-berhala itu?” tanya Raja Namrud setelah Nabi Ibrahim menghadap.


“Bukan aku,” jawab Nabi Ibrahim, “Berhala besar itu yang menghancurkan berhala-berhala yang kecil itu, buktinya kapak masih tergantung di lehernya.”


Raja Namrud bertambah marah, “Mana mungkin patung dapat berbuat semacam yang engkau katakan itu!”


“Kalau patung itu tidak dapat berbuat apa-apa, mengapa kalian sembah?” tanya Ibrahim.

Kisah-kisah Penting di Masa Nabi Ibrahim Lainnya

A. Kisah Nabi Ibrahim Dibakar


Raja Namrud kehilangan kesabarannya, rakyat disuruh mengumpulkan kayu bakar sebanyak-banyaknya untuk membakar Ibrahim. Setelah kayu bakar itu terkumpul bertimbun-timbun, maka Api unggun besar pun dibuatnya.


Tapi mereka merasa kebingungan sendiri, bagaimana caranya memasukkan Ibrahim ke dalam api yang sedang berkobar-kobar itu. Akan diantarkan sendiri oleh mereka tentu tidak mungkin, sebab mereka tidak mampu mendekati kobaran api besar itu dari jarak yang agak dekat. Kemudian Ibrahim di bakar di dalam api unggun yang berkobar-kobar itu dengan memasukkan Nabi Ibrahim ke dalam api dari jarak yang jauh dengan cara Ibrahim di letakkan di suatu tempat yang dapat dilentingkan seperti anak panah yang dapat di lentingkan dari jarak jauh ke arah sasaran yang dituju.


Merekapun merasa puas dan berkerumun menonton dari jauh peristiwa yang sangat mengerikan itu. Mereka mengira bahwa Nabi Ibrahim telah berakhir hidupnya dan merekalah yang menang dalam hal ini. Tetapi alangkah terkejutnya mereka sewaktu api sudah padam, kayu bakar sudah habis, Nabi Ibrahim keluar dari dalam api dengan selamat, bahkan sehelai rambut pun tak ada yang terbakar dan tak sedikitpun merasakan panasnya api tersebut. Allah berfirman kepada Api, sebagaimana tertulis dalam Al-Qur’an, “Hai api hendaklah dingin dan selamatkan Ibrahim!” (Al-Ambiya: 69).


Nabi Ibrahim selamat, ia merasakan api yang berkobar-kobar itu dingin saja.


B. Kisah Nabi Ibrahim Pindah ke Negeri Kan’an


Nabi Ibrahim mengajak ayahnya untuk cepat bertobat dan memeluk agama Allah, seperti tercantum di dalam AL-Qur’an, surah Maryam, ayat 41 – 45, “Sesungguhnya ia adalah Nabi yang benar. Ketika ia berkata kepada Bapaknya, ya Bapakku! mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak mendengar dan tidak melihat dan tiada bermanfaat kepada Engkau sedikitpun?” Ya Bapakku!, jangan engkau sembah setan, sesungguhnya Setan itu durhaka kepada Allah.


Ya Bapakku!, sesungguhnya aku takut kepada siksaan Allah yang akan menimpa engkau, maka engkau akan berteman dengan setan di dalam Neraka.”


Ayah Nabi Ibrahim menjawab, “Adakah engkau membenci kepada sesembahanku (patung-patung) ya Ibrahim?, ingatlah, jika engkau tidak berhenti menghina Tuhanku, niscaya aku akan melempar (menyiksa)-mu, dan enyahlah engkau dari sini selama-lamanya.” (Maryam: 46).


Karena negeri Babilon tidak aman lagi bagi Nabi Ibrahim maka ia memutuskan untuk pindah ke Syam (Palestina), bersama Luth yang kemudian juga menjadi Nabi, dan beberapa pengikutnya ia meninggalkan Babilon.


Namun tidak beberapa lama negeri Palestina diserang bahaya kelaparan dan penyakit menular. Ibrahim dan pengikutnya kemudian pindah ke Mesir.


Mesir waktu itu diperintah oleh Raja yang kejam dan suka berbuat seenaknya. Raja Mesir suka merampas wanita-wanita cantik walaupun wanita itu sudah bersuami.


Ketika Raja Mesir mendengar bahwa Sarah adalah perempuan yang cantik, maka Ibrahim dan Sarah dipanggil menghadap. Ibrahim berdebar, Raja Mesir memang mempunyai kebiasaan aneh, yaitu merampas istri orang yang berwajah cantik sekedar untuk menunjukkan betapa besar kekuasaannya. Tak seorangpun berani menghalangi perbuatannya.


Setelah menghadap raja Mesir. Ibrahim di tanya, “Siapakah perempuan itu?”


“Saudaraku” jawab Ibrahim, sengaja ia berbohong, sebab jika ia berkata terus terang, pasti ia akan dibunuh oleh Raja Mesir itu dan istrinya akan dirampas.


Nabi Ibrahim dan istrinya boleh tinggal di Istana. Pada suatu hari Sarah dapat menyembuhkan sakit Raja Mesir itu, yaitu sepasang tangan Raja itu mengatup rapat tidak dapat digerakkan. Atas jasanya itu Sarah kemudian diberi hadiah seorang budak perempuan bernama Hajar. Dan dengan ikhlas Hajar kemudian diberikan kepada Ibrahim untuk dijadikan isteri.


Di Mesir, Ibrahim dapat hidup tenteram dan makmur, hartanya melimpah ruah. Tapi justru ini menjadikan iri hati bagi penduduk asli Mesir. Maka kemudian Ibrahim memutuskan kembali ke Palestina.


Sejak saat itulah, Nabi Ibrahim hijrah ke Negeri Kan’an (Palestina), dan disanalah ia membina rumah tangga sampai mendapat keturunan. Nabi Ibrahim menikahi Siti Sarah, karena tidak mendapat keturunan, ia menikah lagi dengan Siti Hajar. Pernikahannya dengan Siti Hajar dianugrahi Allah seorang putra bernama Ismail.


Setelah Siti Sarah berusia lanjut, dia hamil. Lahirlah seorang putra yang diberi nama Ishak. Kelak Nabi Ishak mempunyai anak bernama Yakub. Menurut riwayat, keturunan Nabi Ishak selanjutnya adalah Nabi Musa. Keturunan dari Nabi Ismaillah yang kemudian menurunkan Nabi Muhammad SAW. Menurut silsilah, Nabi Ismail adalah kakek Nabi Muhammad yang kedua Puluh.


Istri pertama Nabi Ibrahim, Siti Sarah tinggal di Palestina. Sedangkan istri keduanya, Siti Hajar, dan putranya Ismail tinggal di Mekah. Karena itu Nabi Ibrahim kadang pergi ke Palestina, kadang tinggal di Mekah. Setelah Ismail besar, Ibrahim mengajaknya membangun Baitullah (Ka’bah) sesuai dengan perintah Allah SWT. Selanjutnya Ka’bah menjadi kiblat bagi umat Islam yang mendirikan salat.




C. Nabi Ibrahim dan Ujian Keimanan dari Allah


Suatu hari Nabi Ibrahim AS bermimpi diperintah Tuhan untuk menyembelih anaknya (Ismail). Beliau kemudian bermusyawarah dengan anak-istrinya (Siti Hajar dan Ismail) ia bertanya bagaimana pendapat keduanya tentang mimpi itu. Siti Hajar berkata, “Barangkali mimpi itu hanyalah permainan tidur belaka, maka dari itu janganlah engkau melakukannya. Akan tetapi apabila mimpi itu merupakan wahyu Tuhan yang harus ditaati, maka saya berserah diri kepada Allah yang sangat pengasih dan penyayang kepada hambanya.”


Selanjutnya Ismail berkata, “Ayahku! Apabila ini merupakan wahyu yang harus kita taati, maka saya rela untuk disembelih.”


Ketiga orang mulya tersebut ikhlas melakukan perintah Tuhannya. Maka pada keesokan harinya dilakukanlah perintah itu.


Hal ini banyak diketahui oleh banyak orang, mereka menyangka, bahwa Nabi Ibrahim sudah gila, karena itu dia harus di bunuh, jika tidak, pasti kita semua nantinya juga akan disembelihnya.


Ismail usul kepada ayahnya: “Sebaiknya saya disembelih dalam keadaan menelungkup, tetapi mata ayah hendaklah di tutup. Kemudian ayah harus dapat mengira-ngira arah mana pedang yang tajam itu ayah pukulkan, supaya tidak meleset dan tepat mengenai leher saya.”


Nabi Ibrahim AS menerima dan melaksanakan usul itu, dengan mengucapkan kalimat atas nama Allah, seraya memancungkan pedangnya yang tajam itu ke leher anaknya.


Menyemburlah darah segar ke sekujur tubuh Nabi Ibrahim, ia gemetar, membayangkan anaknya telah mati dengan kepala terpisah dari badannya. Namun alangkah terkejut dan gembiranya dia setelah membuka kain penutup matanya, apa yang terjadi? Ternyata anaknya Ismail selamat tidak tersembelih, tidak kurang suatu apapun, malahan seekor Kibas yang tersembelih. Padahal tadinya tidak ada seekor kibas di sekitar tempat itu, dan Ismail berdiri tepat disamping nya.


Dengan memuji kebesaran dan kekuasaan Allah, mereka berdua berangkulan, karena mereka bersyukur telah dapat melaksanakan perintah tuhannya.


Setelah itu, mereka pulang ke rumahnya, di sepanjang jalan mereka bertakbir dan bertasbih sambil memuji kebesaran Allah, tuhan yang menjadikan alam semesta alam ini.


Siti Hajar mendengar suara takbir dan tasbih dari jauh yang semakin lama semakin dekat, ternyata suara itu adalah suara suami dan anaknya. Betapa terkejutnya ia sambil berlari menyongsong suami dan anaknya itu. Ketiga orang itu bukan main senangnya, karena telah dapat melaksanakan ibadah dan darma baktinya kepada Tuhan. Orang-orang yang tadinya berniat jahat untuk membunuh Ibrahim yang di kiranya sudah gila itu, akhirnya tidak jadi dilaksanakan.


E. Kisah Haji dan Khitan di Masa Nabi Ibrahim


Sesudah Ka’bah berdiri, Nabi Ibrahim menerima perintah dari Allah SWT, agar memanggil kaum muslimin untuk menunaikan ibadah haji, mengunjungi Baitullah, baik yang dekat dengan Ka’bah maupun yang jauh, sesuai surah Al-Hajji ayat 27, “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus, yang datang dari segenap penjuru yang jauh.”


Pada saat berusia 90 tahun (sebagian riwayat menjelaskan pada usia 80 tahun), Nabi Ibrahim menerima perintah Khitan, maka Nabi Ibrahim pun mengkhitan dirinya. Sedang Ismail di khitan pada usia 13 tahun (dalam kitab Injil Barnabas diterangkan, dulu Nabi Adam AS, berdosa setelah memakan buah yang dilarang Allah, buah Khuldi, setelah bertobat, dan diampuni dosanya oleh Allah, Nabi Adam bernazar, akan memotong sebagian dagingnya, kemudian Malaikat menunjukkan bagian daging yang dipotong, yakni pada bagian yang dikhitan). Selanjutnya khitan menjadi syariat agama Islam.


F. Nabi Ibrahim Memohon Supaya Diperlihatkan Bagaimana Allah Menghidupkan Orang Mati


Sewaktu Nabi Ibrahim berdoa kepada Allah supaya diperlihatkan kepadanya bagaimana cara menghidupkan orang mati, maka Allah berfirman kepadanya, “Hai Ibrahim apakah engkau belum percaya kepada kekuasaan-Ku?”


Ibrahim menjawab, “Maha Suci, Tuhanku! Permohonanku ini supaya lebih mendekatkan diriku kepada-Mu, semoga doaku ini dikabulkan.”


Allah SWT mengabulkan doa Nabi Ibrahim, bagaimana Allah memperlihatkan dan cara menghidupkan sesuatu yang sudah mati. Hal ini dapat dilihat dalam Surat Al-Baqarah ayat 260:


Ingatlah ketika Ibrahim berkata, “Hai Tuhanku, perlihatkan kepadaku bagaimana Engkau dapat menghidupkan orang mati!” Allah berfirman, “Tiadakah engkau percaya kepadaku?”


Sahut Ibrahim, “Ya, aku percaya kepada Tuhanku, tetapi hal ini buat meneguhkan hatiku.”


Allah berfirman, “Ambillah empat ekor burung, hampirkan kepadamu (dan potong-potonglah ia), kemudian masing-masing di letakkan diatas bukit sebagian (dari burung yang telah di potong-potong itu), setelah itu panggillah burung-burung itu, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan segera. Ketahuilah sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Bijaksana.”


Allah SWT memperlihatkan kekuasaannya kepada Nabi Ibrahim sehingga keempat burung yang sudah disembelih dan dihancurkan tulang-tulangnya itu dan diaduk jadi satu, sehingga sulit ditentukan satu persatunya nama-nama dan bagian-bagian anggota burung itu.


Potongan-potongan itu juga dibagi-bagi menjadi beberapa tumpukan yang diletakkan di atas bukit-bukit yang saling berjauhan. Namun setelah dipanggil nama-nama burung itu satu persatu, maka berlari-larilah daging, tulang, bulu-bulunya dari bukit yang satu ke bukit yang lain untuk menjadi burung utuh kembali sebagaimana semula. Dan burung itu terbang menuju ke arah Nabi Ibrahim.


G. Akhir Hayat Raja Namrud


Manusia keji seperti Namrud, atas kehendak Allah, mengakhiri hayatnya dengan menyedihkan. Bagaimana Namrud ingkar atas kekuasaa Allah di riwayatkan dalam bentuk dialog antara Raja itu dengan Nabi Ibrahim.


Suatu hari Raja Namrud berdebat hebat dengan Ibrahim. “Ibrahim, siapakah yang menjadikan alam ini?” tanya Raja Namrud.


“Yang menjadikan alam ini adalah Dzat yang dapat menghidupkan dan yang dapat mematikan, dan berkuasa atas segala-galanya,” jawab Nabi Ibrahim tangkas.


“Aku juga berkuasa,” sahut Raja Namrud. “Barangsiapa yang aku perintahkan untuk membunuhnya, matilah dia, dan apabila aku tidak bunuh, hiduplah dia.”


Nabi Ibrahim segera menukas, “Tuhan kami adalah yang menerbitkan matahari dari sebelah timur, maka cobalah engkau putar terbitnya dari sebelah barat!”


Mendengar perkataan Nabi Ibrahim, tercenganglah Raja Namrud. Dia tidak dapat menjawab, namun ia tetap tak mau beriman. Akhirnya raja Namrud dan pengikutnya mendapat siksa. Allah mengirimkan nyamuk yang sangat banyak untuk menyerang. Ternyata kekuasaan sang Raja yang begitu hebat, tak ada artinya saat menghadapi makhluk kecil itu. Pasukan nyamuk menyerbu lubang telinga sang Raja sampai akhirnya ia mati kesakitan.


Sumber Kisah Alkisah Nomor 11 / 8 – 21 Desember 2003

Kisah Nabi Ismail, Cermin Ketaatan Seorang Anak

Nabi Ismail adalah putra Nabi Ibrahim dengan istrinya, Siti Hajar. Siti hajar berasal dari budak kecil Raja Mesir yang diberikan kepada Siti Sarah, dan setelah besar lalu dijadikan istri oleh Nabi Ibrahim. Dari istrinya inilah Nabi Ibrahim memperoleh anak yang bernama Ismail. Adapun istrinya yang pertama, yaitu Siti Sarah, sedari muda sudah mandul (tidak mempunyai anak) dan karena ia ingin sekali mempunyai keturunan, maka setelah usianya sudah agak lanjut, barulah ia dikaruniahi Allah seorang anak laki-laki yang bernama Ishak. Rupanya Siti Sarah kurang senang apabila selalu berdekatan dengan madunya, seperti halnya watak wanita pada umumnya, apalagi madunya itu sudah mempunyai anak, sedangkan ia sendiri masih belum.


Kemudian Nabi Ibrahim membawa pindah istrinya (Siti Hajar) bersama bayinya, Ismail ke negeri Mekah yang pada saat itu masih berupa lautan padang pasir yang belum ada seorang manusia pun disana. Seperti diceritakan dalam Al-Qur’an: surah Ibrahim ayat, 37:


“Hai Tuhan kami! Sesungguhnya kami telah menempatkan anak keturunan kami di lembah yang tidak ada tanaman sama sekali (Mekah) pada tempat rumah-Mu (Ka’bah) yang terhormat. Hai Tuhan kami! Semoga mereka tetap mendirikan salat. Hendaklah Engkau jadikan hati manusia rindu kepada mereka. Berilah mereka rezeki yang berupa buah-buahan, mudah-mudahan mereka mengucapkan syukur kepada Tuhan.”


Nabi Ibrahim kembali ke Negeri Syam. Ketika Siti Hajar telah kehabisan air, ia merasa sangat haus, karena itu air susunya terasa berkurang, dan bayinya (Ismail) ikut menderita karena kekurangan air susu.


Siti Hajar mencari air kemana-mana, mondar mandir antara bukit Sofa dan Bukit Marwa, kalau- kalau ada air di situ. Perbuatan Siti Hajar ini sampai sekarang dijadikan sebagian dari rukun “Ibadah haji” yang dinamakan Sa’i (pulang balik antara Sofa dan Marwa) sebanyak tujuh kali, dengan membacakan nama kebesaran Allah, mensucikan dan mengagungkan Allah.


Tak lama kemudian Siti Hajar mendengar suara (suara Jibril) yang membawa dan menunjukkan Siti Hajar ke suatu tempat, dan disana di hentakkan kakinya ke bumi, maka terpancarlah mata air yang sangat jernih dari dalamnya. Maka dengan segera Siti Hajar mengambil air itu untuk memberi minum anaknya.. mata air itu semula meluap kemana-mana, kemudian Malaikat berkata, “Zamzam” artinya, berkumpullah.” Maka, mata air itu pun berkumpul, dan sampai sekarang mata air itu dinamakan sebagai Air Zam zam. Berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa, air zamzam itu tidak pernah kering sampai sekarang walau pun dipergunakan oleh sangat banyak manusia yang mengambilnya.


Pada suatu hari lewatlah di sana serombongan orang Arab Jurhum, yang kebetulan mereka sangat memerlukan air, mereka sudah mencari kesana kemari, tapi belum menemukannya


Tiba-tiba terlihat oleh mereka burung-burung yang sedang berterbangan di atas suatu bukit, biasanya ini suatu pertanda bahwa disana ada mata air. Karena burung itu biasanya senang terbang di atas mata air. Maka pergilah mereka ke sana, dan ternyata benar disana ada mata air, yang disana ada Siti Hajar dan Bayinya, Ismail. Karena kebaikan hati Siti Hajar kepada mereka dengan memberi air zamzam itu sekehendak yang mereka butuhkan, sehingga mereka tertarik hatinya untuk tinggal di sana bersama Siti Hajar.


Atas kebaikan hati Siti Hajar pula, maka rombongan orang Arab Jurhum itu memberikan sebagian barang dagangannya kepada Siti Hajar, sehingga Siti Hajar merasa senang dan bahagia hidupnya di sana. Lama-kelamaan, bertambahlah penduduknya dan jadilah suatu desa yang aman tentram serta subur dan makmur.


Setelah Ibrahim kembali ke Mekah untuk menemui istri dan anaknya, alangkah terkejutnya beliau melihat tempat itu sudah menjadi sebuah desa yang subur dan makmur, dan meliahat Siti Hajar hidup senang dan bahagia karena hidupnya berkecukupan. Siti Hajar menceritakan semua kejadian yang dialaminya kepada suaminya. Nabi Ibrahim memuji kebesaran Allah, yang telah mengabulkan doanya yang lalu.


Mendirikan Ka’bah


Pada suatu hari Nabi Ibrahim mendapat perintah untuk mendirikan Ka’bah di dekat telaga Zamzam. Hal itu diberitahukan kepada anaknya Ismail. Maka keduanya sepakat untuk membangun rumah Allah yang akan digunakan untuk beribadah.


Mereka membangun Ka’bah tersebut dengan tangan-tangan mereka sendiri. Mengangkut batu dan pasir serta bahan-bahan lainnya dengan tenaga yang ada padanya. Setiap selesai bekerja Nabi Ibrahim bersama anaknya, Ismail, keduanya berdoa, “Ya Tuhan! Terimalah kerja kami ini, sungguh Engkau maha Mendengar dan Maha Mengetahui.”


“Ya Tuhan! Jadikanlah kami dan keturunan kami umat yang menyerahkan diri kepada-Mu, dan perlihatkanlah kepada kami, Ibadah kami, dan beri tobatlah kami, sesungguhnya Tuhan Maha Pemberi Tobat dan amat Pengasih.”


Pada saat membangun rumah suci itu, Ibrahim dan Ismail meletakkan sebuah Batu Besar berwarna Hitam mengkilat. Sebelum meletakkan batu itu diciumnya sambil mengelilingi bangunan Ka’bah. Batu tersebut sampai sekarang masih ada, itulah Hajar Aswad. Setelah bangunan itu selesai, Allah mengajarkan kepada Nabi Ibrahim dan Ismail tata cara beribadah menyembah Allah.


Tata cara beribadah yang diajarkan kepada Nabi Ibrahim dan Ismail inilah yang juga diajarkan kepada Nabi-nabi dan Rasul yang sesudahnya hingga kepada Nabi Muhammad SAW.


“Ya Tuhan, bangkitkanlah seorang utusan dari mereka itu yang mengajarkan ayat dan kitab serta segala hikmah dan yang akan membersihkan dari dosa-dosa, Engkaulah Tuhan Yang Maha Mulia lagi Perkasa.”


Nabi Ismail, Cermin Anak yang Patuh


Pada suatu hari Nabi Ibrahim bermimpi diperintah Tuhan untuk menyembelih anaknya (Ismail). Maka Nabi Ibrahim bermusyawarah dengan anak-istrinya (Siti Hajar dan Ismail), bagaimana pendapat keduanya tentang mimpinya itu. Siti Hajar berkata, “Barangkali mimpi itu hanya permainan tidur belaka, maka janganlah engkau melakukannya, akan tetapi apabila mimpi itu merupakan wahyu Tuhan yang harus di taati, maka saya berserah diri kepada-Nya yang sangat pengasih dan Penyayang terhadap hambanya.”


Ismail berkata, “Ayahku! Apabila ini merupakan wahyu yang harus kita taati, maka saya rela untuk disembelih.”


Ketiga orang anak beranak itu sudah ikhlas melakukan perintah Tuhannya, maka keesokan harinya dilaksanakan perintah itu.


Selanjutnya Ismail usul kepada ayahnya, Ibrahim: “Sebaiknya saya disembelih dengan keadaan menelungkup, tapi mata ayah hendaklah di tutup, kemudian ayah harus dapat mengira-ngira arah mana pedang yang tajam itu ayah pukulkan, supaya tepat pada leher saya.”


Maka Nabi Ibrahim melaksanakan usul anaknya itu, beliau mengucapkan kalimat atas nama Allah, seraya memancungkan pedangnya yang tajam itu ke leher anaknya.

Nabi Ilyas As: Berbuka Puasa dengan Makanan Surga

Ihwal Nabi Ilyas kurang banyak diungkap, namun diyakini bahwa beliau masih hidup di dunia bersama Nabi Khidir,


Nabi Ilyas AS adalah keturunan Nabi Harun yang Ke empat, ia di utus Allah kepada kaum Bani Israel yang suka menyembah berhala, yang di sebut “Berhala Ba’al.”


Sebuah riwayat menyebutkan, Nabi Ilyas Al-Nasyabi, yang mendapat panggilan Ibnu Yasin, di yakini masih hidup di Bumi. bersama Nabi Khidir. Sedangkan Nabi Isa dan Nabi Idris juga masih hidup di langit.


Ilyas dan Khidir saling berkumpul pada saat bulan Ramadhan di Baitulmakdis. Keduanya mengerjakan ibadah haji di Padang Arafah dan minum air Zamzam.


Dalam suatu perjalanan bersama Rasul SAW, di suatu lembah, Anas bin Malik mendengar seseorang berkata, “Ya Allah, jadikanlah aku salah satu dari umat Muhammad yang di cintai, diberi ampunan, dan diterima tobatnya.” Selanjutnya Anas berkisah…:


Kudekati lembah itu, dan ternyata ada seseorang di sana. “Siapa kamu?” dia bertanya. “Anas bin Malik, aku pelayan Rasul,” jawabku.


“Dimana beliau?” ia bertanya lagi. “Ada di sini, beliau mendengar ucapanmu,” jawabku.


“Temuilah beliau, dan sampaikan salamku, katakan padanya, “Saudaramu, Ilyas, menyampaikan salam,” katanya.


Maka kuberitahukan hal itu kepada beliau, kemudian Rasulullah SAW menemui, memeluk dan mengucapkan salam kepadanya. Setelah itu keduanya duduk dan berbincang-bincang.


“Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku tidak makan dalam setahun kecuali hanya satu hari. Di hari ini adalah hari berbukaku, aku akan makan bersamamu.”


Maka turunlah meja makan dari langit yang di atasnya terdapat roti, ikan laut dan daun seledri. Lalu mereka berdua makan dan juga memberiku makan, lalu kami salat ashar. Setelah Ilyas meninggalkan Rasulullah dan aku melihat lintasan perjalanannya di awan menuju langit.


Sebuah riwayat menyebutkan, hal itu terjadi dalam perang tabuk, ketika Rasulullah mengutus Anas bin Malik dan Hudzaifah bin Al-Yaman menemuinya. Keduanya mengatakan, “ternyata ia seorang yang berbadan dua atau tiga hasta lebih tinggi dari kami.”


Ketika Rasul berkumpul dengan Ilyas, keduanya makan makanan dari surga. Ilyas berkata, “setiap 40 hari saya baru makan.” Sedangkan di Meja makan Itu terdapat Roti, Anggur, pisang, Kurma, dan sayur-sayuran selain bawang.


Rasulullah bertanya perihal Khidir, maka ia menjawab, “Sesungguhnya engkau akan bertemu dengannya sebelumku, maka sampaikan salamku untuknya.”


Pengalaman Tsabit, salah seorang sahabat, menyebutkan, ketika ia sedang salat sunah di pinggir kota Kufah bersama Mush’ab bin Zubair, tiba-tiba dari belakang terdengar suara, “jika kamu membaca Ghafirudz Dzanbi (yang menghapuskan dosa), ucapkanlah, “Wahai Dzat yang menghapuskan dosa, ampunilah aku atas dosa-dosaku.”


Jika kamu membaca Qarbilut Taubati (yang menerima Taubat), ucapkan, “Wahai Dzat yang menerima taubat, terimalah tobatku.”


Jika kamu membaca Syadiul Iqabi (yang keras hukuman-Nya), “Wahai Dzat yang keras hukuman-Nya, janganlah Engkau menghukumku.”


Dan jika kamu membaca Dzat Tuuli (yang mempunyai karunia), ucapkan, “Wahai Dzat yang karunia, keruniakanlah kepadaku rahmat dalam waktu yang lama.”


Ketika itu ia membaca surat Al-Mukmin ayat 1-3, yang artinya, “Ha Mim, turunnya kitab (Al-Qur’an) ini dari Allah, yang Maha Perkasa, yang Maha Mengetahui. Yang menghapuskan dosa, yang menerima Tobat, amat keras hukuman-Nya, dan besar kekuasaan-Nya. Tiada Tuhan selain Dia, kepada-Nya lah tujuan kembali,”


Setelah itu aku menoleh dan ternyata tidak menemukan seorang pun di belakangku. Lalu aku keluar dan bertanya kepada orang-orang. “Apakah orang yang melintas di depan kalian menaiki seekor keledai yang besar?”


Mereka menjawab, “Tidak ada orang yang melintas di sini,” dan mereka tidak mengetahui melainkan Ilyas.


Ilyas adalah Nabi yang ke 17. Ia di utus untuk menyadarkan penduduk Ba’albak atau Punicia yang menyembah berhala Ba’al. Negaranya terletak di bagian pantai Arab Utara, tapi ada yang menyebut sebelah barat Damaskus sekarang. Bangsa Punicia adalah bangsa pelaut. Di wilayah Libanon ditemukan bangunan altar penyembahan Ba’al yang disebut Heliopolis.


Nama Ilyas disebut dua kali dalam surat Al-An’am ayat 85, bersama dengan Nabi Zakaria, Yahya, dan Isa , sebagai orang-orang yag saleh, dan Surah As-Saffat ayat 123, sebagai orang yang di utus oleh Allah.


Surah As-Saffat ayat 123-130 mengungkapkan tugas dakwah Nabi Ilyas dalam menyeru kaumnya bertauhid, menyembah hanya kepada Allah.


“Apakah kamu tidak takut pada siksaan Allah? Kenapa kamu menyembah berhala Ba’al dan mengabaikan Allah?” seruan itu dijawab, “Kami sudah sejak lama menyembah Ba’al, sejak nenek moyang kami, oleh karena itu kami tidak bisa meningglkan begitu saja.”


Karena penolakan itu, Allah menurunkan azab, kecuali orang-orang yang menerima seruan Ilyas, berupa musim kering selama tiga tahun berturut-turut, sehingga mereka kelaparan, karena tanaman dan ternak mereka rusak. Akhirnya mereka menerima ajakan Ilyas, tetapi setelah kehidupan kembali normal, mereka mengulang menyembah berhala.


Nabi Ilyas selalu dikejar dan dicari-cari oleh kaumnya untuk dibunuhnya. Oleh karena itu Nabi Ilyas lari menghindar untuk menyelamatkan diri, bersembunyi di rumah-rumah yang sepi dan kosong.


Berkat kekuasaan Allah, setiap rumah yang dimasuki Nabi Ilyas, maka disana sudah tersedia makanan.


Akhirnya orang-orang mengetahui, setiap mereka memperoleh makanan dalam sebuah rumah, mereka mengatakan, “Pasti rumah ini sudah di masuki oleh Ilyas.”


Melihat kenyataan itu, Ilyas memohon kepada Allah agar tugasnya di akhiri, dan beliau pun wafat. Tugasnya diteruskan oleh Nabi Ilyasa’ keponakannya sendiri. Tapi ada riwayat yang menyebutkan, Ilyasa’ adalah anak seorang perempuan Bani Israel tempat Ilyas menyembunyikan diri dari kejaran umatnya yang tetap durhaka. Dia mempunyai seorang anak laki-laki, bernama Ilyasa’, yang penyakitan. Setelah disembuhkan Ilyas, Ilyasa’ menjadi pengiring setia Ilyas.


Nama Ilyasa’ disebut dua kali dalam Al-Qur’an, yaitu dalam surah Shad ayat 48 dan Surah Al-An’am ayat 86. Ia termasuk dalam daftar Nabi Bani Israel.


Referensi Kisah: Alkisah nomor 13 / 20 Juni – 3 Juli 2005

Nabi Harun AS dan Patung Anak Sapi

Mengisahkan Nabi Harun AS tidak bisa lepas dari kisah Nabi Musa, karena ia adalah juru bicara Nabi Musa ketika menghadapi Fir’aun ataupun umat Nabi Musa sendiri. Kisahnya dimulai ketika Nabi Musa berhasil membawa umatnya keluar dari Mesir dan selamat dari kejaran Fir’aun yang ingin membunuh mereka.


Tibalah saatnya bagi Nabi Musa untuk menerima wahyu dari Allah SWT. Ia memerintahkan Nabi Harun untuk menjaga umatnya, jangan sampai mereka kufur. Lalu Nabi Musa naik ke Gunung Thursina untuk berkhalwat dan berpuasa selama 40 hari.


Di atas gunung itu Nabi Musa memohon kepada Allah, “Ya Allah, dapatkah aku melihat Engkau?”


Allah berfirman, “engkau tidak akan sanggup melihat-Ku, tetapi cobalah lihat bukit itu, jika ia tetap berdiri tegak di tempatnya maka kau akan dapat melihat-Ku.”


Lalu Nabi Musa menoleh ke arah gunung yang dimaksud. Seketika itu gunung yang dilihat hancur luluh berantakan tanpa meninggalkan bekas, masuk kedalam perut bumi.


Nabi Musa terperanjat, gemetar seluruh tubuhnya dan jatuh pingsan. Setelah sadar ia bertasbih dan bertahmid seraya memohon ampun atas kelancangannya itu, “Maha Besar Engkau wahai Tuhanku, ampunilah aku dan terimalah tobatku dan aku akan menjadi orang pertama yang beriman kepada-Mu.


Selanjutnya Allah menurunkan kitab Taurat yang berupa kepingan-kepingan batu. Didalamnya tertulis pedoman hidup dan penuntun beribadah kepada Allah SWT.


Patung Anak Sapi


Ketika Nabi Musa turun dari gunung Thursina ia terkejut, kaumnya telah tersesat. Mereka berpesta pora dan menyembah patung anak sapi yang terbuat dari emas.


Nabi Musa menegur saudaranya yaitu Nabi Harun yang telah dititipi agar menjaga umatnya. Nabi Harun berkata, bahwa ia telah memperingatkan mereka, namun mereka tidak memperdulikannya, Nabi Harun dianggap orang yang lemah. Ia telah bersusah payah melarang mereka menyembah patung anak sapi itu, tetapi mereka tidak mau mengindahkan nasehatnya, bahkan semakin keras tindakan Nabi Harun kepada mereka, makin keras pula perlawanan mereka, bahkan Nabi Harun diancam akan di bunuhnya.


Nabi Musa marah kepada kaumnya, “Alangkah buruknya perbuatan yang kalian lakukan sesudah kepergianku.” Lalu Nabi Musa meletakkan papan Taurat di atas tanah, dan bergegas mendatangi Nabi Harun. “Hai Harun apa yang menghalangi kamu ketika melihat mereka telah sesat, sehingga kamu tidak mengikuti aku?”


Nabi Harun menjawab, “Hai putra ibuku, janganlah engkau pegang jenggotku dan jangan pula kepalaku.”


Nabi Harun memberi pengertian kepada Nabi Musa bahwa ia sama sekali tidak bermaksud menentang perintahnya, dan tidak juga menunjukkan sikap merestui penyembahan patung anak sapi tersebut. Tetapi ia merasa khawatir, jika bani Israel ditinggalkannya, Nabi Musa akan bertanya kepadanya, mengapa mereka ditinggalkan, mengapa orang yang seharusnya bertanggung jawab justru meninggalkan mereka?


Di sisi lain, Nabi Harun juga khawatir, jika perbuatan bani Israel dihadapi dengan kekerasan, akan terjadi peperangan diantara mereka, dan Nabi Musa tentu akan bertanya, mengapa ia menciptakan perpecahan diantara mereka dan mengapa pula tidak menunggu kembalinya Nabi Musa?


Nabi Musa akhirnya menyadari bahwa Nabi Harun telah melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya. Ia meminta ampun kepada Allah SWT bagi dirinya dan juga saudaranya Nabi Harun.


Setelah diselidiki ternyata Samiri-lah orang yang mengajak mereka membuat patung anak sapi dan menyembahnya. Nabi Musa marah sekali. Samiri di usir, tidak boleh bergaul dengan masyarakat, sebab Samiri terkena kutukan, jika ia disentuh atau menyentuh manusia, maka badannya akan menjadi demam-panas, itulah siksa di dunia, adapun nanti di akherat akan di masukkan ke dalam neraka.


Kemudian Nabi Musa memerintahkan kaumnya yang telah tersesat menyembah patung anak sapi itu supaya bertaubat kepada Allah dengan sebenar-benarnya tobat.


Tujuh puluh orang diantara kaumnya diajak ke gunung Thursina, mereka adalah orang-orang terbaik, diajak Nabi Musa untuk memohon ampun buat kaumnya yang berdosa.


Setibanya diatas gunung, datanglah awan tebal yang meliputi seluruh gunung. Nabi Musa dan kaumnya masuk ke dalam awan itu dan mereka segera bersujud. Selagi bersujud itu mereka mendengar percakapan Nabi Musa dengan Tuhannya. Pada saat itu timbullah keinginan di benak mereka untuk melihat Allah secara langsung.


Setelah Nabi Musa selesai bercakap-cakap dengan Allah, mereka berkata kepada Nabi Musa, “kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami dapat melihat Allah dengan jelas.”


Sebagai jawaban, kontan atas kelancangan mereka itu Allah mengirim Halilintar yang menyambar dan merenggut nyawa mereka sekaligus.


Nabi Musa sedih melihat nasib mereka itu. Mereka adalah orang-orang terbaik yang dikumpulkan dari kaumnya. Ia memohon kepada Allah agar mereka diampuni dosanya dan dihidupkan kembali.


Allah mengabulkan doanya. 70 orang yang sudah meninggal itu dihidupkan lagi. Nabi Musa kemudian menyuruh orang-orang itu bersumpah untuk berpegang teguh pada kitab Taurat sebagai pedoman hidup. Melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.


* Kisah ini diadaptasi dari Kitab Qishashul Anbiya